Thursday, November 5, 2015

RINGKASAN BUKU COMMUNITY DEVELOPMENT KARYA JIM IFE DAN FRANK TESORIERO

Buku Community Development yang ditulis oleh Jim Ife dan Frank Tesoriero serta diterjemahkan oleh Sastrawan Manullang, dkk. Merupakan buku yang dijadikan sebagai acuan mata kuliah pengembangan masyarakat. Buku ini terdiri dari 13 bab dengan pembahasan yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Bab I  : Krisis layanan kemanusiaan, kebangkitan individualisme, dan kebutuhan akan komunitas
Bab II : Landasan pengembangan masyarakat: suatu perpektif ekologis
Bab III: Landasan pengembangan masyarakat: suatu perspektif keadilan sosial dan hak azasi manusia
Bab IV: Ekologi dan keadilan sosial/ham: suatu visi untuk pengembangan masyarakat
Bab V  : Perubahan dari bawah
Bab VI : Partisipasi
Bab VII: Proses pengembangan masyarakat
Bab VIII: Global dan lokal
Bab IX  : Pengembangan masyarakat terpadu
Bab X    :Pengembangan masyarakat: pengembangan budaya, lingkungan, personal/spiritual
Bab XI   : Penerapan prinsip-prinsip dalam praktik
Bab XII  : Peran dan keterampilan
Bab XIII : Isu-isu Praktis

BAB I: KRISIS LAYANAN KEMANUSIAN, KEBANGKITAN INDIVIDUALISME, DAN KEBUTUHAN AKAN KOMUNITAS
Awal bab ini menjelaskan tentang mengapa harus ada pengembangan masyarakat, maka diceritakanlah masalah-masalah yang terjadi.
Pada bab I terdiri dari tiga sub bab yaitu:
1.      Krisis dalam negara kesejahteraan
Sub bab pertama menjelaskan tentang adanya krisis yang terjadi dalam sebuah negara yang notabenenya sebagai nagara yang sejahtera. Negara yang dibahas dalam sub bab ini adalah lebih ke negara-negara barat, akan tetapi penulis dapat memahami bahwa tujuan mempelajari dari sub bab I ini adalah untuk mempelajari permasalahan yang ada dalam sebuah negara sehingga melahirkan sebuah konsep yang kemudian dapat digunakan sebagai pisau analisis permasalahan yang ada di negara Indonesia.
2.      Layanan berbasis masyarakat sebagai suatu alternatif
Pada sub bab ke dua terkait dengan sub bab pertama. Keterkaitannya adalah pada sub bab pertama menjelaskan tentang sebuah permasalahan dan sub bab ke dua menjalaskan solusi alternatif dari permasalahan tersebut yaitu dengan layanan berbasis masyarakat untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan mengerahkan sumber-sumber daya, keahlian dan kearifan dari komunitas itu sendiri.
3.      Unsur yang hilang: Pengembangan Masyarakat
Sub bab ke tiga menjelaskan tentang adanya unsur yang hilang dalam pengembangan masyarakat maka di sub bab ke tiga ini menjelaskan mengenai pentingnya janji komunitas, modal sosial, dan kebutuhan akan orang asing dalam pengembangan masyarakat.
Jadi, intinya adalah krisis layanan kemanusian terjadi sebagai akibat dari kebangkitan individualisme dan solusi untuk menanganinya dengan sebuah komunitas atau layanan berbasis masyarakat.

BAB II. LANDASAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT: SUATU PERPEKTIF EKOLOGIS
Bab II ini terdiri atas lima sub bab, yaitu:
1.      Krisis Lingkungan Hidup
Pada sub bab ini dijelaskan mengenai krisis-krisis lingkungan hidup yang terjadi mencakup polusi udara, laut, sungai, dan tanah, kandungan racun dalam rantai makanan, penurunan sumber daya alam bumi, penipisan lapisan ozon, pemanasan global, kepunahan jenis-jenis flora dan fauna, hilangnya wilayah-wilayah alam liar, erosi lapisan atas tanah, desertifikasi, deforestasi, limbah nuklir dan krisis populasi. Jadi, yang dibahas adalah berbagai krisis yang terjadi pada lingkungan hidup.
2.      Tanggapan lingkungan dan tanggapan green
Tanggapan lingkungan hidup terhadap masalah-masalah ekologis memiliki dua ciri penting. Pertama, mereka berupaya memecahkan masalah-masalah spesifik dengan solusi-solusi yang diskrit. Jadi, masalah pemanasan global diatasi dengan mengurangi gas rumah kaca, masalah berkurangnya sumber daya dengan teknologi alternatif, masalah polusi dengan teknologi anti-polusi, masalah populasi dengan program keluarga berencana, masalah hilangnya alam liar dengan menciptakan kawasan lindung, masalah kepunahan jenis dengan program jenis langka dan seterusnya. Kedua, mencari solusi-solusi dalam orde sosial, ekonomi, dan politik yang ada saat ini.
Sebaliknya, tanggapan green terhadap masalah-masalah lingkungan hidup memakai pendekatan yang lebih mendasar atau radikal. Pendekatan tersebut melihat masalah-masalah lingkungan hidup sebagai sekadar gejala-gejala dari masalah mendasar yang lebih penting. Itu adalah konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi, dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan karena itu adalah orde sosial, ekonomi, dan politik inilah yang harus diubah. Jadi, inti dari tanggapan lingkungan dan tanggapan green adalah menanggapi krisis lingkungan hidup.
3.      Tema-tema dalam analisis green
Ada beberapa tema dalam analisis green yaitu:
a.       Eko-sosialisme memiliki persepsi masalah utama atas kapitalisme. Solusi yang diusulkan adalah masyarakat sosialis.
b.      Eko-anarkhisme memiliki persepsi masalah utama hirarki, pemerintah, dan birokrasi. Solusi yang diusulkan adalah desentralisasi, kontrak lokal, dan tidak ada pemerintah pusat.
c.       Eko-feminisme memiliki masalah utama patriarki. Solusi yang diusulkan adalah revolusi feminis, menghargai atribut perempuan, dan mengakhiri penindasan gender.
d.      Eko-luddisme memiliki masalah utama teknologi. Solusi yang diusulkan adalah teknologi rendah berskala manusia, dan mengakhiri kemajuan teknologi yang tidak berakar.
e.       Anti-pertumbuhan memiliki masalah utama pada pertumbuhan (ekonomi, populasi, konsumsi, dll.).  solusi yang diusulkan adalah masyarakat tanpa pertumbuhan.
f.       Ekonomi alternatif memiliki persepsi atas masalah utama pada teori ekonomi konvensional. Solusi yang ditawarkan adalah ekonomi berkelanjutan, termasuk eksternalitas dan ekonomi yang terdesentralisasi.
g.      Kerja, waktu senggang dan etika kerja memilik persepsi masalah utama defenisi kerja, ketergantungan pada pasar tenaga kerja sebagai mekanisme distributif. Solusi yang diusulkan defenisi-defenisi baru dari kerja dan waktu senggang, serta jaminan pendapatan minimum.
h.      Pembangunan global memiliki persepsi utama pada dominasi dan eksploitasi atas dunia mayoritas oleh dunia minoritas, dan ketidaksetaraan global (pembangunan). Solusinya yaitu kesetaraan global dan pembangunan tepat guna.
i.        Eko-filosofi memiliki pandangan dunia yang antroposentris. Solusi utamanya yaitu pandangan dunia yang ekosentris.
j.        Pemikiran paradigma baru memiliki persepsi atas masalah pandangan dunia berpaham Newtonian. Solusi yang ditawarkan adalah holistis, paradigma sistematis Cartesian, dan berpikir linier.
4.      Suatu perspektif ekologis
Perspektif ekologis ini digunakan sebagai tema pemersatu empat prinsip ekologi yaitu holisme, keberlanjutan, keanekaragaman, dan keseimbangan. Holisme memiliki konsekuensi filosofi ekosentris menghormati kehidupan dan alam. Menolak solusi linier perubahan organik. Keberlanjutan memiliki konsekuensi keonservasi mengurangi konsumsi, ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, antikapitalis. Keanekaragaman menghargai perbedaan, tidak ada jawaban tunggal, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, teknologi tingkat rendah. Keseimbangan antara global/lokal/Yin/Yang/Gender hak/tanggung jawab/perdamaian dan koperasi.
Inti dari pembahasan ini adalah dalam pengembangan masyarakat harus menghormati kehidupan alam sekitarnya.



BAB III.  LANDASAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT: SUATU PERSPEKTIF KEADILAN SOSIAL DAN HAK AZASI MANUSIA
Bab ini membahas suatu perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia yang dijadikan sebagai landasan pengembangan masyarakat. Dijelaskan pula bahwa dalam mengembangkan masyarakat harus berkeadilan sosial dan memenuhi hak-hak masyarakat tersebut. Terdapat empat komponen kunci dari pendekatan keadilan sosial dan HAM kepada kerja masyarakat, keadaan yang merugikan, hak-hak, pemberdayaan dan kebutuhan. Keempat komponen tersebut tidak berdiri sendiri. Jelas terlihat, tiap-tiap komponen relevan bagi yang lainnya dan terdapat berbagai kaitan yang jelas. Misalnya, kebutuhan dan hak, dan pemberdayaan, serta struktur-struktur yang merugikan.

BAB IV. EKOLOGi, KEADILAN SOSIAL DAN HAM: SUATU VISI UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pada bagian ini menjelaskan dan memadukan pembahasan dari bab II dan bab III. Yang mana pada sub babnya, yaitu mempertanyakan mengapa setiap perspektif tidak cukup tanpa yang lainnya. Di sini dijelaskan bahwa dalam pengembangan masyarakat masing-masing perspektif saling mengkritik satu dengan yang lainnya. Janji integrasi, masing-masing perspektif ekologi, keadilan sosial dan HAM saling berintegrasi untuk mengembangkan masyarakat. Maka lahirlah sebuah konsep-konsep yaitu keberlanjutan sosial, memadukan yang sosial dan non sosial, kesetaraan antar genarasi, keadilan global, keadilan ekosentris, hak lingkungan hidup, kewajiban-kewajiban global, dan lingkungan hidup. Konsep-konsep tersebut digunakan dalam komunitas untuk pengembangan sebagai layanan kemanusiaan berbasis masyarakat yang menjadi suatu visi alternatif.

BAB V. PERUBAHAN DARI BAWAH
Yang dimaksud dalam bab ini adalah terjadinya perubahan bukan dari atas ke bawah, melainkan perubahan yang berdasar pada masyarakat grass root dalam kata lain perubahan dari bawah. Tidak hanya itu, juga dijelaskan cara terjadinya perubahan dari bawah tersebut. Seorang pekerja masyarakat yang ingin melakukan sebuah perubahan dari bawah harus memenuhi berbagai syarat yaitu menghargai pengetahuan lokal, menghargai kebudayaan lokal, menghargai keterampilan lokal, mampu bekerja dalam solidaritas yang tidak hanya mementingkan pengetahuan diri sendiri. Jika ingin melakukan sebuah perubahan dari bawah perlu pengetahuan awal mengenai landasan ideologis dan teoretis sebagai dasar dalam melakukan perubahan tersebut. Beberapa landasan idelogis dan teoretis tersebut adalah pluralisme, sosialisme domokratis, anarkhisme, post-kolonialisme, post-modernisme, dan feminisme.

BAB VI.  PARTISIPASI
Bab VI ini menjelaskan konsep partisipasi dalam pengembangan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan sebuah partisipasi adalah demokrasi. Demokrasi partisipatif ini memiliki empat karakteristik yaitu desentralisasi, akuntabilitas, pendidikan, dan kewajiban. Tetapi menurut penulis yang paling utama adalah membangun kesadaran terlebih dahulu melalui pendidikan. Di samping itu, terdapat pula demokrasi deliberatif. Demokrasi liberatif ini berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai pakar yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior. Jadi, demokrasi liberatif merupakan penggabungan dari pemerintah dan masyarakat untuk memecahkan sebuah permasalahan secara partisipatif.
Permasalahan yang biasa terjadi dalam konteks partisipasi adalah adanya tokenisme. Tokenisme diartikan sebagai masyarakat yang diminta konsultasinya atau diberi informasi mengenai suatu keputusan, tetapi sebenarnya mereka hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Jadi, pada intinya adalah perubahan dari bawah berada pada jantung pengembangan masyarakat dan partisipasi menghidupkan konsep ini.

BAB VII. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pengembangan masyarakat sejatinya merupakan proses. Dalam mengevaluasi proyek pengembangan masyarakat siapa pun harus melihat proses, dan dalam merencanakan serta menerapkan program pengembangan masyarakat apapun senantiasa merupakan proses bukan hasil yang harus dipertimbangkan mendalam. Orang-orang yang menekankan pada pernyataan hasil perlu menyadari bahwa untuk pengembangan masyarakat proses yang baik merupakan hasil terpenting yang dapat dicapai. Proses yang baik akan mendorong masyarakat untuk menentukan tujuan mereka sendiri dan tetap menguasai perjalanan selain tujuan akhir. Pengembangan masyarakat perlu mengupayakan pembentukan cara berpikir yang menghargai saling interaksi di antara masyarakat, menghargai kualitas pengalam kolektif, dan memaksimalkan potensi mereka dan mencapai pri kemanusiaan mereka secara utuh melalui pengalaman proses masyarakat.


BAB VIII. GLOBAL DAN LOKAL
Pada bab ini, seorang pekerja masyarakat harus mampu memahami isu-isu global dan juga dapat menjawab perubahan global dengan berpikir global, tetapi bertindak lokal. Dan seorang pekerja masyarakat dalam mengembangkan masyarakat mampu menguasai persoalan-persoalan global untuk perubahan secara lokal. Dengan kemajuan globalisasi, ekonomi global, komunikasi global, dan lalu lintas dunia global, gagasan bahwa kita tinggal di satu dunia menjadi sangat penting dalam semua bidang termasuk pengembangan masyarakat. Dalam dunia global, praktik pengembangan masyarakat tidak dapat mengabaikan isu global, bagaimanapun perhatian global harus ditampakkan. Kekuatan-kekuatan global memengaruhi semua masyarakat, dan merupakan faktor pendukung atas persoalan dan isu yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, dalam memahami suatu masyarakat, seorang pekerja masyarakat harus mampu memahami global maupun lokal, dan bagaimana keduanya saling memengaruhi/berinteraksi. Menerapkan secara lokal dan global merupakan tantangan besar bagi para pekerja masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan globalisasi dari bawah, mencoba untuk merekonstruksi agenda globalisasi untuk kepentingan orang-orang dan masyarakat pada umumnya, dan menghubungkan mereka dengan aksi akar rumput global untuk perubahan. Poin penting bagi pekerja masyarakat adalah selalu menyadari hubungan antara lokal dan global, dan menyelidiki cara-cara dapat menghubungkan masyarakat dengan gerakan global untuk perubahan.

BAB IX. PENGEMBANGAN MASYARAKAT TERPADU
Pengembangan masyarakt terpadu terdiri atas enam dimensi, tetapi pada bab ini hanya membahas tiga dimensi saja. Pertama, dimensi pengembangan sosial yang lebih fokus pada pengembangan pelayanan, balai masyarakat, perencanaan sosial, dan semangat sosial. Kesemuanya itu, berfokus pada sosial masyarakat. Kedua, pengembangan ekonomi. Dalam pengembangan masyarakat tidak hanya berfokus pada sosialnya, tetapi juga pada peningkatan ekonominya. Ketiga, pengembangan politik terdiri atas dua yaitu pengembangan politik internal dan eksternal. Pengembangan politik internal membahas mengenai peningkatan kesadaran dan pengorganisasian. Jadi, tataran perubahan itu masih dalam lingkup dalam masyarakat. Pengembangan politik eksternal terdiri dari pengorganisasian dan aksi sosial. Jadi, tataran perubahan yang terjadi dalam masyarakat melalui sebuah tindakan nyata untuk mengungkapkan permasalahan yang terjadi dalam pengembangan masyarakat itu sendiri.
   
BAB X. PENGEMBANGAN MASYARAKAT: PENGEMBANGAN BUDAYA, LINGKUNGAN, PERSONAL/SPIRITUAL
Bab ini merupakan lanjutan dari bab IX yaitu berkaitan dengan pengembangan masyarakat yang terpadu. Keempat, pengembangan budaya dilakukan dengan melestarikan dan menghargai kebudayaan lokal, melestarikan dan menghargai budaya asli, multikulturalisme, dan budaya partisipatif. Kelima, pengembangan lingkungan sebagaimana yang telah dibahas pada bab II bahwa pengembangan masyarakat tetap memperhatikan kondisi lingkungan alam yang ada disekitarnya sehingga tidak melahirkan permasalahan lingkungan. Keenam, pengembangan personal dan spiritual. Masyarakat adalah bagian dari individu maka segala pembahasan mengenai pengembangan masyarakat telah mencakup pula pengembangan personal. Untuk pengembangan spiritual merupakan dimensi yang sangat penting untuk pengembangan masyarakat, rasa akan kesakralan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual termasuk bagian penting dari pembentukan kembali masyarakat manusia dan memberikan makna, serta tujuan kehidupan manusia. Keenam dimensi tersebut sangat diperlukan dalam pembangunan yang seimbang.

BAB XI. PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP DALAM PRAKTIK
Bab ini memusatkan pada identifikasi prinsip-prinsip pengembangan masyarakat melampaui kondisi lokal dan oleh karenanya mengarahkan praktik seseorang pada level yang lebih umum. Prinsip-prinsip tersebut dikelompokkan menurut pembahasan pada bab II, III, V, VI, dan VII. Prinsip-prinsip ekologis terdiri dari prinsip holisme, keberlanjutan, keanekaragaman, perkembangan organik, perkembangan yang seimbang. Prinsip keadilan sosial dan HAM terdiri mengatasi struktur yang merugikan, mengatasi wacana-wacana yang merugikan, pemberdayaan, hak asasi manusia, dan definisi kebutuhan. Prinsip menghargai yang lokal terdiri dari menghargai pengetahuan lokal, menghargai kebudayaan lokal, mengahargai sumber daya lokal, mengahrgai keterampilan masyarakat lokal, mengahrgai proses lokal, dan partisipasi. Prinsip-prinsip proses terdiri dari proses, hasil, dan visi. Integritas proses, menumbuhkan kesadaran, kerja sama dan konsensus, langkah pembangunan, perdamaian dan anti kekerasan, inklusifitas, dan membangun masyarakat. Prinsip-prinsip global dan lokal yaitu, menghubungkan yang global dan lokal, dan praktik anti-kolonialis  

BAB XII. PERAN DAN KETERAMPILAN
Dalam bagian ini dijelaskan menganai peran dan keterampilan yang harus dimiliki oleh pekerja masyarakat. Wilayah teknis dari pengembangan masyarakat dan dimulai dengan masalah buku panduan yang digunakan, kompetensi yang digunakan, dan mampu mengetahui prinsip-prinsip dalam praktik, teori, repleksi, dan praksis. Beberapa peran dan keterampilan yang harus dipahami, yaitu peran dan keterampilan memfasilitasi: 1) memfasilitasi semangat sosial, 2) mediasi dan negosiasi, 3) dukungan, 4) membangun konsensus, 5) fasilitasi kelompok, 6) pemanfaatan berbagai keterampilan dan sumber daya, 7) mengorganisasi, dan 8) komunikasi pribadi.
Peran dan keterampilan mendidik: 1) Peningkatan kesadaran, 2) Memberikan informasi, 3) Konfrontasi, dan 4) Pelatihan. Peran dan keterampilan representasi: 1) Memperoleh berbagai sumber daya, 2) advokasi, 3) menggunakan media, 4) humas dan presntasi publik, 5) jaringan kerja (networking), 6) berbagi pengetahuan dan pengalaman. Berbagai peran dan keterampialan teknis: 1) penelitian, 2) menggunakan komputer, 3) presentasi verbal dan tertulis, 4) manajemen, dan 5) pengaturan keuangan. Untuk memahami semua itu, dibutuhkan neds assesment dan evaluasi. Ketika menemukan sebuah permasalahan maka dibutuhkan pengembangan berbagai keterampilan dengan cara menganalisis penyadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan intuisi.

BAB XIII. ISU-ISU PRAKTIS
Adapun yang menjadi pembahasan yaitu isu-isu praktis yang terjadi dalam sebuah masyarakat, seperti isu-isu pekerja masayarakat yang terdiri dari pekerja masyarakat yang dipekerjakan, pekerja sektoral yang dipekerjakan, profesional berfokus masyarakat, aktivis yang dipekerjakan, dan aktivis masyarakat yang tidak dibayar. Isu praktis mengenai nilai dan etika yang dibahas adalah nilai-nilai pribadi, pemaksaan atas berbagai nilai, dan berbagai dilema moral dan etika. Isu selanjutnya mengenai profesionalisme, pendidikan dan pelatihan, penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan, kerja masyarakat internal dan eksternal, komitmen jangka panjang. Untuk menggapi isu praktis tersebut dibuthkan sebuah dukungan (support) dari para majikan atau atasan, teman sekerja, pekerja dalam berbagai masyarakat yang lain, anggota komuniatas, berbagai jaringan kerja aktivis, dan berbagai jaringan kerja pribadi.

Gairah, visi dan harapan, pengetahuan teknis, keterampilan, dan keahlian merupakan hal penting. Namun, semua hal itu tidaklah cukup. Para pekerja masyarakat yang baik harus memiliki gairah, sebuah komitmen, sebuah antusiasme yang nyata bagi kerja mereka, dan sesuatu yang mengendalikan mereka untuk aktif. Para pekerja masyarakat tidak akan melihat kerja mereka sebagai sekadar sebuah pekerjaan. Namun, sebagai sesuatu yang pada hakikatnya penting, tindakan yang baik, dan bagian dari membuat dunia menjadi sebuah tempat yang lebih baik.  

ALIRAN FILSAFAT RADIKALISME DALAM PENDIDIKAN SOSIAL


             A.   Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi di sekitarnya. Hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.
Pendidikan merupakan suatu pemikiran yang praktis dan mebutuhkan teori dalam menciptakan sistem pendidikan  yang ideal. Oleh sebab itu, pendidikan harus berangkat dari filsafat yang khusus dan condong membahas tentang pendidikan. Apalagi jika ada beberapa  pertanyaan radikal tentang pendidikan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial dan alam.Oleh karena itu, makalah ini membahas filsafat radikalis dalam pendidikan pendidikan sosial.
Ada beberapa pendapat dan versi dalam mendefinisikan radikalisme ini, diantaranya ada yang berpendapat bahwa kata radikal itu berasal dari kata latin “radix” yang artinya akar atau pohon. Jadi orang yang radikal sebenarnya adalah orang yang mengerti sebuah permasalahan sampai ke akar-akarnya, dan karena itu mereka lebih sering memegang teguh sebuah prinsip dibandingkan orang yang tidak mengerti akar masalah. Pengertian lain mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan radikal atau radikalisme itu adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. (Prof. Dr. Mudjahirin Thahir)
Namun  dalam makalah ini radikalisme lebih difokuskan pada Filsafat pendidikan radikal mempunyai arti sama dengan  filsafat rekonstruksionis mempromosikan perubahan sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Jadi untuk selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas tentang filsafat Rekontruksionisme.




BAB II
PEMBAHASAN

     A.  Pengertian Filsafat, Radikalisme, Dan Filsafat Radikalisme
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep medasar. Filsafat merupakan studi tentang penggunaan kekuatan pemikiran, sebagai puncak akhir sebab-sebab di alam nyata.
Radikalisme artinya pengekangan kepada seseorang. Jadi, filsafat radikalisme artinya sebuah cabang filsafat dimana filosofisnya mengekang kepada peserta didik untuk selalu tunduk terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.
                 Filsafat radikal pendidikan orang dewasa sering disebut filsafat rekonstruksionis mempromosikan perubahan sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Pendidik dan peserta didik adalah mitra sejajar dalam proses pembelajaran. Pendidik adalah koordinator kelas dan membuat saran tetapi tidak langsung proses pembelajaran. Filosofi ini mencakup konsep-konsep seperti non compulsor belajar dan Deschooling. Paparan media dan orang-orang dalam situasi kehidupan nyata dianggap metode pengajaran yang efektif. Holt, Freire, dan Illich adalah pendukung filsafat pendidikan orang dewasa radikal. Beberapa penelitian yang menemukan bahwa menggunakan Persediaan Zinn (1990) untuk membangun filosofi pendidik dewasa. Rachat, DeCoux, Leonard, dan. Pierce (1993) diberikan para petinggi Dewasa Skala Learning (PALS) dan philosoph)
         Aliran filsafat rekonstruksionisme adalah aliran filsafat yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran filsafat pendidikan ini menganggap bahwa pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat berperan penting dalam menghadapi permasalahan dunia. Karena dengan pendidikan maka akan tercipta orang-orang yang berfikir dan memiliki pemikiran yang dapat mengubah dunia. Aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme menginginkan pendidikan sebagai agen utama dalam rekonstruksi sosial . Maksudnya ialah, bahwa pendidikan diharapkan merupakan satu satunya agen atau sumber utama pemegang tatanan sosial ini, yang dimaksud disini ialah peran pendidik dalam membawa peserta didiknya harus mampu berinovasi dalam memecahkan masalah. Kemudian dalam aliran filsafat pendidikan ini diharapkan metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia , maksudnya adalah di dalam proses belajar mengajar seorang pendidik harus memberi kesempatan kepada pendidik untuk berfikir dan ikut serta dalam pembelajaran sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai dengan student center approach yaitu siswa sebagai objek atau pusat pembelajaran. Guru memberikan kepada siswa untuk berfikir dan mengeluarkan semua pemikirannya, sehingga guru hanya sebagai fasilitator , namun juga harus memiliki keterbukaan yang jelas kepada siswa, misalnya ada siswa yang dirasa kurang tepat dalam memberikan argumentasinya maka guru berhak melengkapinya. Pokok bahasan yang dibahas harus diinterkoneksikan dengan persoalan-persoalan atau isu-isu aktual sehingga akan melatih peserta didik untuk berfikir secara kritis. Seorang pendidik harus bisa merangsang pemikiran siswanya sehingga siswa akan peka terhadap masalah-masalah sosial yang akan mereka hadapi. Jika menurut aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme seperti tersebut di atas, bagaimana dengan pendidikan pada nyatanya? Sebagian besar pendidikan di Indonesia belum mencerminkan pendidikan rekonstruksionis, walaupun ada juga sekolah-sekolah yang telah menerapkan hal tersebut. Namun kali ini penulis akan membahas pendidikan di Indonesia yang masih menggunakan sistem tradisional dalam pendidikan. Jika filsafat pendidikan rekonstruksionis menginginkan sekolah sebagai agen perubahan sosial dan sekolah menerapkan sistem demokratis, namun pada kenyataannya sekolah belum bisa memenuhi hal tersebut. Metode pembelajaran yang diterapkan dalam kelas masih teacher center approach atau guru sebagai objek atau pusat pembelajaran, guru menyampaikan materi dengan ceramah, siswa hanya mendengarkan guru berbicara. Guru pun tidak mau mendengarkan suara-suara muridnya, sehingga pembelajaran tidak demokratis, akibatnya sekolah menjadi pencetak orang-orang yang pasif, yang tidak tanggap terhadap permasalahan luar.
B. Sejarah  Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
         Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern . Dalam rekontruksionisme ini disamakan dengan radikal karena disini dalam pendidikannya murid diajarkan untuk berfikir kritis dari akar guna merombak susunan pendidikan yang baru. Aliran ini timbul karena pada tahun 1930an dunia telah mengalami krisis, sampai-sampai di negara bagian Eropa dan Asia mengalami totalitarianisme yaitu hilangnya nila-nilai kemanusiaan dalam sosial. Dunia pada saat itu mengalami kebangkrutan yang sangat besar, mulai dari maraknya terorisme, kesenjangan global, nasionalisme sempit, banyaknya manusia yang berperilaku amoral, dan masih banyak lagi.
         Aliran ini dipelopori oleh George S. Count dan Harold Rugg. Count menawarkan pidato-pidato provokatifnya yang intinya bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan sosial baru, Count mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik untuk mengorganisasi diri dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Karena pemikiran tersebut maka bermunculan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif.
         Aliran rekonstruksionis bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan sosial melalui pendidikan, karena pada zaman dahulu mereka menganggap bahwa pendidikan telah menjauhkan mereka dari masyarakat, maka dari itu, aliran ini ingin mengubah pandangan tersebut dan melalui pendidikan maka kita akan dekat dengan masyarakat.
C. Prinsip Rekonstruksionisme
         Artikel yang berjudul “future shock” (kejutan masa depan) karya Alvin Toffler telah membuka mata dunia bahwa manusia telah mengalami tekanan yang hebat jika dibebani perubahan dalam waktu yang sangat singkat. Dalam artikel tersebut ia menjelaskan bahwa apa yang dialami sekolah atau pendidikan saat ini adalah sebuah hal yang sangat sia-sia dan tanpa harapan, karena pendidikan saat itu sangat lambat bergerak, ibarat pendidikan berjalan menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industri, sedangkan situasi sosial telah memasuki periode superindustri. Sekolah kita lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh.           Energi besarnya dipergunakan untuk mencetak manusia industrial, yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati sebelum mereka eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, kita harus menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan metode-metode dimasa akan datang, bukan justru dimasa lalu . Jadi intinya, prinsip aliran rekonstruksi adalah menciptakan suatu sistem pendidikan dimana pendidikan itu mengarah kepada masa depan bukan berjalan lambat dan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul yang akan datang.
D. Hakikat Rekonstruksionisme
 1. Ontologi
         Pandangan ontologi menjelaskan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relaita itu universal (noor syam). Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menampilkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan dapat ditangkap oleh indera manusia dan akal pikiran. Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, yang menurut Bakhrie aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan rohani
2. Epistemologi
         Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguh sungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Contoh adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti bukti lain atas eksistensi Tuhan. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran penalaran memiliki hukum hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis .
3. Aksiologi
         Menurut Imam Barbadib, aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan asas asas supernatural yakni menerima nilai natural dan universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi yang potensial dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan E. Esensi Pendidikan dalam Aliran Filsafat Rekonstruksionise Hidup
         Dalam rekontruksionisme ini disamakan dengan radikal karena disini dalam pendidikannya murid diajarkan untuk berfikir kritis dari akar guna merombak susunan pendidikan yang baru. khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan kehidupan bukannya bertambah baik, justru malah bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang mereka sebut dalam situasi krisis dan sakarat. Satu satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut aliran ini tidak lain adalah dengan mengubah praktek pendidikan yang ada ke dalam konstruksi konstruksi baru . Kalau dulu pendidikan dianggap sebagai menjauhkan dari masyarakat karena pendidikan zaman dahulu mengabaikan masalah masalah yang hidup atau yang ada dalam masyarakat, namun pemikiran ini berkeinginan bahwa pendidikan harus dapat memecahkan persoalan persoalan yang hidup dalam masyarakat sehingga pendidikan tidak dianggap memisahkan dari masyarakat.
          Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 6 tesis , yaitu:
a)Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Pendidikan harus menjadi alat utama untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi, pelaksanaan pendidikan sesegera mungkin dilaksanakan, kalau pendidikan tidak segera dilaksanakan maka infrastruktur yang lain akan cepat hancur, maka dari itu pendidikan adalah kunci utama untuk membangun tatanan kehidupan sosial, karena pendidikan dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial dan budaya.
b)      Anak, sekolah dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Untuk menghasilkan pembelajaran yang harmonis di dalam kelas antara guru, peserta didik dan subjek-subjek pendidikan lainnya maka mereka harus memahami kebudayaan mereka masing-masing, sehingga mereka akan saling menghargai.
c)Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Seorang guru atau pendidik harus memiliki sikap percaya diri dan merasa bahwa ia mampu untuk membimbing peserta didiknya, dengan begitu seorang peserta didik akan berhasil dalam membimbing peserta didiknya dan ia tidak akan diremehkan oleh peserta didik.
d)     Cara dan tujuan pendidikan harus diubah seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Tujuan pendidikan haruslah disesuaikan dengan peserta didiknya. Selain itu juga harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya agar pendidikan mampu menjawab problem-problem dimasyarakat.
e)Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
Menurut Sukmadinata (1997: 93) kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda :
a) Tujuan dan isi kurikulum, Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
b)      Metode, dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda serta bakat minat yang berbeda maka dari itu tugas pendidik adalah membimbing masing-masing peserta didik untuk menemukan minatnya, minimal pendidik mampu mendampingi peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya.
c)Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa dilibatkan terutama dalam memilih dan menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan. Yang dimaksud disini ialah peserta didik membantu dalam hal memilih bahan atau materi yang telah dipelajari dan layak untuk dijadikan tes atau evaluasi.
F. Implikasi Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pendidikan
         Adanya filsafat pendidikan rekonstruksionisme diharapkan pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, pendidikan adalah alat utama untuk menentukan masa depan bangsa, maka dari itu masalah pendidikan dipandang sangat penting, aliran ini berharap pendidikan dapat mengubah tatanan sosial masyarakat, pendidikan dapat mengubah perekonomian masyarakat, pendidikan dapat mengubah segala bentuk apapun yang ada dalam masyarakat. Maka dari itu pendidikan diharap mampu untuk menjadi agen perubahan sosial, walaupun pada kenyataanya sekarang pendidikan belum nampak memberikan kontribusi yang luas dalam masyarakat, justru malah orang-orang dari pendidikan yang merusak negara ini, seperti halnya korupsi yang makin populer di negara ini, bukankah mereka yang korupsi adalah kaum terdidik? Mustahil orang yang korupsi itu lulusan SD. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan pada saat ini belum mampu mengubah tatanan sosial, justru malah merusak tatanan sosial. Pendidikan di Indonesia belum berhasil, dalam artian belum berhasil dalam menanamkan karakter dan kepribadian manusia yang berakhlak baik. Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan asal jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Maksud yang terkandung adalah bahwa dalam proses pembelajaran di kelas, seorang pendidik harus mampu menggunakan metode yang bisa membuat peserta didik atau merangsang peserta didik untuk berfikir dan berani mengeluarkan pendapat sehingga pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru tetapi murid atau peserta didiklah yang harus menjadi objek dari pembelajaran, contoh media atau metode yang digunakan adalah metode diskusi, dengan metode diskusi maka peserta didik dapat berlatih untuk mengemukakan pendapatnya, dengan begitu maka pembelajaran akan efektif dan peserta didik dapat aktif dalam belajar, sehingga tidak hanya guru yang menjadi sumber ilmu, namun peserta didik pun mampu menyumbang pemikiran, dalam berdiskusi sebaiknya masalah yang diangkat adalah isu-isu aktual yang sedang hangat di masyarakat sehingga secara tidak langsung peserta didik akan merespon permasalahan yang telah tumbuh dalam masyarakat, dengan begitu tidak lagi dikatakan bahwa pendidikan telah menjauhkan dari masyarakat, justru pendidikan mendekatkan peserta didik dengan masyarakat dan memberikan sumbangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang ada. Dengan begitu pendidikan akan benar-benar berguna bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya di dalam proses pembelajaran masih ada pendidik melakukan metode tanpa variasi yaitu metode ceramah secara terus menerus tanpa memperdulikan peserta didik, peserta didik di suruh mendengarkan ceramah dari guru tanpa diminta kontribusinya atau tanpa diminta menanggapi, sedangkan permasalahan yang dibahas adalah permasalahan yang basi yang sudah tidak layak dibahas lagi, dengan begitu peserta didik serasa tidak mendapatkan hasil apa-apa dan pendidikan hanya sebagai simbol belaka tanpa guna, pendidikan justru mencetak generasi-generasi yang takut berbicara atau generasi pasif. Jika pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial. Seperti telah dibahas di atas bahwa pendidikan harus mampu memberi kontribusi kepada masyarakat dengan cara merespon permasalahan yang sedang timbul di masyarakat, baik itu masalah ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu mengajak peserta didiknya berfikir dan peka terhadap permasalahan yang sekarang masyarakat hadapi, sebaliknya pendidik yang tidak rekonstruksionis adalah pendidik yang takut atau tidak berani mengajak peserta didiknya dalam menghadapi permasalahan yang sedang hangat dibicarakan, dengan begitu peserta didik akan semakin dekat dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat.











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
          Latar belakang munculnya filsafat pendidikan rekonstuksionisme adalah karena di dunia telah mengalami krisis yang hebat, yaitu adanya totalitarianisme dan lain sebagainya, hal itu menyebabkan Count seorang pencetus filsafat ini menganggap bahwa pendidikan adalah suatu bidang yang layak untuk menyelamatkan dunia. Esensi pendidikan dalam filsafat pendidikan rekonstruksionisme adalah bahwa pendidikan yang dimaksudkan dalam filsafat pendidikan rekonstruksionisme adalah seperti apa yang dikemukakan Brameld, yaitu pendidikan yang harus dilaksanakan sesegera mungkin, subjek pendidikan dikondisikan dengan budaya, guru harus memiliki sikap percaya diri, dan lain sebagaimya. Implikasi filsafat rekonstruksionisme dalam pendidikan adalah bahwa filsafat pendidikan rekonstruksionisme yang menginginkan pendidikan dapat menjadi agen perubahan tatanan sosial, pendidikan mampu menawarkan solusi dalam permasalahan yang ada dalam masyarakat dan pendidikan yang aktif mengajarkan aperubahan sosial ternyata belum sepenuhnya terlaksana.



















DAFTAR PUSTAKA

 H.W, Teguh Wangsa Gandhi. 2011. Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: ARRUS MEDIA Http://maragustamsiregar.wordpress.com M.Ed, Drs. Abdullah Idi, Prof. Dr. H. Jalaluddin. 2002. Filsafat Pendidikan. Jakarta : GAYA MEDIA PRATAMA M. Ed, Drs. H.M Djumberanjah Indar. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: KARYA ABDITAMA R. Knight, George, Dr. Mahmud Arif, M.Ag. (Terj). 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Gama Media Sadullah, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CU ALFABETA

APAKAH ITU FILSAFAT ILMU?


1.      Filsafat
Filsafat secara etimologi menurut tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 18) menjelaskan bahwa istilah “Filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani  Philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan.
Menurut Plato (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 5) bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sementara Poedjawijatna (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 6 ) mengartikan filsafat sebagai ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebenaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada, sebab, asal, dan hukumanya.

2.      Ilmu
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersistematis dan menggunakan metode tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan  bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu dan pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb). Ilmu dan pengetahuan berbeda, semua ilmu adalah pengetahuan dan tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 23-24) menjelaskan bahwa ada empat jenis pengetahuan yaitu
a.       Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b.      Pengetahuan ilmiah atau ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja, tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan  luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c.       Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas  sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar dan di atas pengalaman biasa.
d.      Pengetahuan Agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.

3.      Filsafat Ilmu
Dari penjelasan di atas tentang filsafat dan ilmu maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat Ilmu ingin mencari sedalam-dalamnya tentang hakikat pengetahuan ilmiah (ilmu). Jadi, Penulis perlu menegaskan bahwa yang dicari adalah hakikat pengetahuan ilmiah bukan pengetahuan biasa, filsafat maupun agama yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam memahami hakikat sebuah ilmu maka ada tiga landasannya, yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

a.       Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu, on/ontos yang berarti ada dan logos berarti ilmu. Jadi, ontology adalah ilmu tentang yang ada. Dalam kamus istilah filsafat yang ditulis oleh Surahman (2012: 247) menguraikan bahwa ontology berasal dari bahasa ontos yang berarti pertisipium kata kerja einai, yaitu sedang berada. Menurut singgih iswara, Pandangan ontologis dalam filsafat berkaitan dengan objek yang dikaji. Objek filsafat adalah sesuatu yang diketahui, artinya yang pertama berperan adalah sistem indra kita yaitu mata karena sifat objek yang dibahas dalam landasan ontologis adalah nyata (realitas) dan kenampakan (appearance).
SuriaSumantri (2003: 91) menjelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Maka dapat dikatakan dalam ilmu tidak mengkaji sebelum hidup kita maupun setelah kematian kita, akan tetapi mengkaji di tengah-tengah antara keduanya distulah letak kajian ilmu. Objek materinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan  zat kebendaan. Jadi, dapat dikatakan landasan ontologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang objek kajian ilmu.

b.      Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)
Epistemologi berasal dari bahasa yunani ”episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, “logos” berarti teori. Jadi, epistemologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 17) mengemukakan bahwa persoalan-persoalan yang penting dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Epistemologi dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai metode ilmiah. Mundiri (2012: 203) menjelaskan bahwa Metode ilmiah adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara ilmiah . Dan untuk menemukan atau mendapatkan pengetahuan menurut Mundiri (2012: 204-206) ada beberapa langkah sebagai berikut:
1)      Penemuan atau penentuan masalah. Pada tahap ini, kita secara sadar mengetahui masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya.
2)      Perumusan  masalah merupakan usaha untuk mendeskripksikan masalah yang dihadapi dengan lebih jelas. Pada tahap ini, kita mengidentifikasi semua faktor-faktor yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
3)      Pengajuan hipotesis. Pada tahap ini, kita berusaha untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab akibat dari faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah yang sedang kita hadapi.
4)      Deduksi dari hipotesis. Tahap ini merupakan langkah perantara untuk pengujian hipotesis yang kita ajukan. Deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam hubungannya dengan hipotesis yang diajukan.
5)      Pembuktian hipotesis. Pada tahap ini, kita mengumpulkan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis yang telah kita ajukan. Kalau fakta-fakta itu memang ada maka hipotesis yang diajukan itu benar
6)      Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Hipotesis yang telah terbukti kebenarannya diterima sebagai pengetahuan baru dan dianggap sebagai bagian dari ilmu.
Jadi dapat dijelaskan bahwa landasan epistemologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmiah.
c.       Aksiologi (nilai kegunaan ilmu)
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi berarti teori tentang nilai. Dalam aksiologi inilah yang mengkaji tentang apakah manfaat ilmu itu baik atau buruk (etika), indah atau jelek (estetika) dalam suatu masyarakat. Aksiologi membahas bahwa ilmu itu tidak bebas nilai tapi diikat oleh aturan-aturan nilai yang ada. Segala sesuatu yang diciptakan mampu membantu kebutuhan manusia tidak sebaliknya membawa celaka bagi manusia. Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan serta memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Bencana dan malapetaka akan terjadi jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai. Tanggung jawab seorang ilmuwan harus dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral untuk  kepentingan masyarakat tanpa membawa kepentingan pribadi.  
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi, epistemologi dan landasan aksiologi seperti mata rantai yang saling berhubungan. Ontology berbicara tentang “apa”, epistemologi berbicara tentang “bagaimana” dan aksiologi berbicara tentang “untuk apa”.

d.      Etika
Etika merupakan cabang dari Aksiologi. Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata Ethos yang berarti watak. Sedang moral berasal dari kata latin mos, bentuk tunggal dan mores yang berarti kebiasaan. Dalam KBBI dijelaskan bahwa etika memiliki tiga arti, yaitu: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau  nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Objek materialnya adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedangkan objek formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral. Tiga macam pendekatan etika (Mustansyir dan Misnal Munir, 2013: 30) yaitu etika deskriptif (melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas), etika normative (mendasarkan pendiriannya atas norma), metaetika (kajian etika yang ditujukan kepada ungkapan-ungkapan etis).
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan  ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 182) menjelaskan bahwa di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika pancasila atau moral pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Sesungguhnya ini merupakan moral khusus namun amat penting agar pembangunan tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni.

e.       Positivisme
Aliran positivisme dalam filsafat ilmu  merupakan  paradigma ilmu pengetahuan yang paling pertama muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana  realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 tokohnya adalah Auguste comte yang dikenal juga sebagai bapak sosiologi.
Atang abdul hakim (dalam Soegiono dan Tamsil Muis, 2012: 13)  menjelaskan bahwa aliran positivisme mirip dengan aliran empirisme, hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman  indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah. Hal senada juga disampaikan oleh tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 40) yang menjelaskan bahwa positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran positivism menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi.

f.       Postpositivisme
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembanglah sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah Postpositivisme.Munculnya gugatan terhadap positivisme dimulai tahun 1970-1980an. Pemikiranya dinamai “post positivisme”. Tokohnya Karl R Popper, Thomas Khun, para filusuf mazhab Frankfurt (Feyerabend Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam karena tindakan manusia tidak dapat diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme ini lahir untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi melalui berbagai macam metode. Creswell (2014: 9) menjelaskan bahwa pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivisme selalu didasarkan  pada observasi dan  pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia “luar sana.” Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang mengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia.
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell, John W. 2014. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2013. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soegiono, dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Surahman, Arif. 2012. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Matahari.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.