Thursday, November 5, 2015

ALIRAN FILSAFAT RADIKALISME DALAM PENDIDIKAN SOSIAL


             A.   Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi di sekitarnya. Hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.
Pendidikan merupakan suatu pemikiran yang praktis dan mebutuhkan teori dalam menciptakan sistem pendidikan  yang ideal. Oleh sebab itu, pendidikan harus berangkat dari filsafat yang khusus dan condong membahas tentang pendidikan. Apalagi jika ada beberapa  pertanyaan radikal tentang pendidikan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial dan alam.Oleh karena itu, makalah ini membahas filsafat radikalis dalam pendidikan pendidikan sosial.
Ada beberapa pendapat dan versi dalam mendefinisikan radikalisme ini, diantaranya ada yang berpendapat bahwa kata radikal itu berasal dari kata latin “radix” yang artinya akar atau pohon. Jadi orang yang radikal sebenarnya adalah orang yang mengerti sebuah permasalahan sampai ke akar-akarnya, dan karena itu mereka lebih sering memegang teguh sebuah prinsip dibandingkan orang yang tidak mengerti akar masalah. Pengertian lain mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan radikal atau radikalisme itu adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. (Prof. Dr. Mudjahirin Thahir)
Namun  dalam makalah ini radikalisme lebih difokuskan pada Filsafat pendidikan radikal mempunyai arti sama dengan  filsafat rekonstruksionis mempromosikan perubahan sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Jadi untuk selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas tentang filsafat Rekontruksionisme.




BAB II
PEMBAHASAN

     A.  Pengertian Filsafat, Radikalisme, Dan Filsafat Radikalisme
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep medasar. Filsafat merupakan studi tentang penggunaan kekuatan pemikiran, sebagai puncak akhir sebab-sebab di alam nyata.
Radikalisme artinya pengekangan kepada seseorang. Jadi, filsafat radikalisme artinya sebuah cabang filsafat dimana filosofisnya mengekang kepada peserta didik untuk selalu tunduk terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.
                 Filsafat radikal pendidikan orang dewasa sering disebut filsafat rekonstruksionis mempromosikan perubahan sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Pendidik dan peserta didik adalah mitra sejajar dalam proses pembelajaran. Pendidik adalah koordinator kelas dan membuat saran tetapi tidak langsung proses pembelajaran. Filosofi ini mencakup konsep-konsep seperti non compulsor belajar dan Deschooling. Paparan media dan orang-orang dalam situasi kehidupan nyata dianggap metode pengajaran yang efektif. Holt, Freire, dan Illich adalah pendukung filsafat pendidikan orang dewasa radikal. Beberapa penelitian yang menemukan bahwa menggunakan Persediaan Zinn (1990) untuk membangun filosofi pendidik dewasa. Rachat, DeCoux, Leonard, dan. Pierce (1993) diberikan para petinggi Dewasa Skala Learning (PALS) dan philosoph)
         Aliran filsafat rekonstruksionisme adalah aliran filsafat yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran filsafat pendidikan ini menganggap bahwa pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat berperan penting dalam menghadapi permasalahan dunia. Karena dengan pendidikan maka akan tercipta orang-orang yang berfikir dan memiliki pemikiran yang dapat mengubah dunia. Aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme menginginkan pendidikan sebagai agen utama dalam rekonstruksi sosial . Maksudnya ialah, bahwa pendidikan diharapkan merupakan satu satunya agen atau sumber utama pemegang tatanan sosial ini, yang dimaksud disini ialah peran pendidik dalam membawa peserta didiknya harus mampu berinovasi dalam memecahkan masalah. Kemudian dalam aliran filsafat pendidikan ini diharapkan metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia , maksudnya adalah di dalam proses belajar mengajar seorang pendidik harus memberi kesempatan kepada pendidik untuk berfikir dan ikut serta dalam pembelajaran sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai dengan student center approach yaitu siswa sebagai objek atau pusat pembelajaran. Guru memberikan kepada siswa untuk berfikir dan mengeluarkan semua pemikirannya, sehingga guru hanya sebagai fasilitator , namun juga harus memiliki keterbukaan yang jelas kepada siswa, misalnya ada siswa yang dirasa kurang tepat dalam memberikan argumentasinya maka guru berhak melengkapinya. Pokok bahasan yang dibahas harus diinterkoneksikan dengan persoalan-persoalan atau isu-isu aktual sehingga akan melatih peserta didik untuk berfikir secara kritis. Seorang pendidik harus bisa merangsang pemikiran siswanya sehingga siswa akan peka terhadap masalah-masalah sosial yang akan mereka hadapi. Jika menurut aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme seperti tersebut di atas, bagaimana dengan pendidikan pada nyatanya? Sebagian besar pendidikan di Indonesia belum mencerminkan pendidikan rekonstruksionis, walaupun ada juga sekolah-sekolah yang telah menerapkan hal tersebut. Namun kali ini penulis akan membahas pendidikan di Indonesia yang masih menggunakan sistem tradisional dalam pendidikan. Jika filsafat pendidikan rekonstruksionis menginginkan sekolah sebagai agen perubahan sosial dan sekolah menerapkan sistem demokratis, namun pada kenyataannya sekolah belum bisa memenuhi hal tersebut. Metode pembelajaran yang diterapkan dalam kelas masih teacher center approach atau guru sebagai objek atau pusat pembelajaran, guru menyampaikan materi dengan ceramah, siswa hanya mendengarkan guru berbicara. Guru pun tidak mau mendengarkan suara-suara muridnya, sehingga pembelajaran tidak demokratis, akibatnya sekolah menjadi pencetak orang-orang yang pasif, yang tidak tanggap terhadap permasalahan luar.
B. Sejarah  Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
         Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern . Dalam rekontruksionisme ini disamakan dengan radikal karena disini dalam pendidikannya murid diajarkan untuk berfikir kritis dari akar guna merombak susunan pendidikan yang baru. Aliran ini timbul karena pada tahun 1930an dunia telah mengalami krisis, sampai-sampai di negara bagian Eropa dan Asia mengalami totalitarianisme yaitu hilangnya nila-nilai kemanusiaan dalam sosial. Dunia pada saat itu mengalami kebangkrutan yang sangat besar, mulai dari maraknya terorisme, kesenjangan global, nasionalisme sempit, banyaknya manusia yang berperilaku amoral, dan masih banyak lagi.
         Aliran ini dipelopori oleh George S. Count dan Harold Rugg. Count menawarkan pidato-pidato provokatifnya yang intinya bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan sosial baru, Count mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik untuk mengorganisasi diri dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Karena pemikiran tersebut maka bermunculan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif.
         Aliran rekonstruksionis bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan sosial melalui pendidikan, karena pada zaman dahulu mereka menganggap bahwa pendidikan telah menjauhkan mereka dari masyarakat, maka dari itu, aliran ini ingin mengubah pandangan tersebut dan melalui pendidikan maka kita akan dekat dengan masyarakat.
C. Prinsip Rekonstruksionisme
         Artikel yang berjudul “future shock” (kejutan masa depan) karya Alvin Toffler telah membuka mata dunia bahwa manusia telah mengalami tekanan yang hebat jika dibebani perubahan dalam waktu yang sangat singkat. Dalam artikel tersebut ia menjelaskan bahwa apa yang dialami sekolah atau pendidikan saat ini adalah sebuah hal yang sangat sia-sia dan tanpa harapan, karena pendidikan saat itu sangat lambat bergerak, ibarat pendidikan berjalan menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industri, sedangkan situasi sosial telah memasuki periode superindustri. Sekolah kita lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh.           Energi besarnya dipergunakan untuk mencetak manusia industrial, yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati sebelum mereka eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, kita harus menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan metode-metode dimasa akan datang, bukan justru dimasa lalu . Jadi intinya, prinsip aliran rekonstruksi adalah menciptakan suatu sistem pendidikan dimana pendidikan itu mengarah kepada masa depan bukan berjalan lambat dan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul yang akan datang.
D. Hakikat Rekonstruksionisme
 1. Ontologi
         Pandangan ontologi menjelaskan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relaita itu universal (noor syam). Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menampilkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan dapat ditangkap oleh indera manusia dan akal pikiran. Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, yang menurut Bakhrie aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan rohani
2. Epistemologi
         Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguh sungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Contoh adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti bukti lain atas eksistensi Tuhan. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran penalaran memiliki hukum hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis .
3. Aksiologi
         Menurut Imam Barbadib, aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan asas asas supernatural yakni menerima nilai natural dan universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi yang potensial dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan E. Esensi Pendidikan dalam Aliran Filsafat Rekonstruksionise Hidup
         Dalam rekontruksionisme ini disamakan dengan radikal karena disini dalam pendidikannya murid diajarkan untuk berfikir kritis dari akar guna merombak susunan pendidikan yang baru. khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan kehidupan bukannya bertambah baik, justru malah bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang mereka sebut dalam situasi krisis dan sakarat. Satu satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut aliran ini tidak lain adalah dengan mengubah praktek pendidikan yang ada ke dalam konstruksi konstruksi baru . Kalau dulu pendidikan dianggap sebagai menjauhkan dari masyarakat karena pendidikan zaman dahulu mengabaikan masalah masalah yang hidup atau yang ada dalam masyarakat, namun pemikiran ini berkeinginan bahwa pendidikan harus dapat memecahkan persoalan persoalan yang hidup dalam masyarakat sehingga pendidikan tidak dianggap memisahkan dari masyarakat.
          Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 6 tesis , yaitu:
a)Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Pendidikan harus menjadi alat utama untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi, pelaksanaan pendidikan sesegera mungkin dilaksanakan, kalau pendidikan tidak segera dilaksanakan maka infrastruktur yang lain akan cepat hancur, maka dari itu pendidikan adalah kunci utama untuk membangun tatanan kehidupan sosial, karena pendidikan dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial dan budaya.
b)      Anak, sekolah dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Untuk menghasilkan pembelajaran yang harmonis di dalam kelas antara guru, peserta didik dan subjek-subjek pendidikan lainnya maka mereka harus memahami kebudayaan mereka masing-masing, sehingga mereka akan saling menghargai.
c)Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Seorang guru atau pendidik harus memiliki sikap percaya diri dan merasa bahwa ia mampu untuk membimbing peserta didiknya, dengan begitu seorang peserta didik akan berhasil dalam membimbing peserta didiknya dan ia tidak akan diremehkan oleh peserta didik.
d)     Cara dan tujuan pendidikan harus diubah seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Tujuan pendidikan haruslah disesuaikan dengan peserta didiknya. Selain itu juga harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya agar pendidikan mampu menjawab problem-problem dimasyarakat.
e)Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
Menurut Sukmadinata (1997: 93) kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda :
a) Tujuan dan isi kurikulum, Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
b)      Metode, dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda serta bakat minat yang berbeda maka dari itu tugas pendidik adalah membimbing masing-masing peserta didik untuk menemukan minatnya, minimal pendidik mampu mendampingi peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya.
c)Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa dilibatkan terutama dalam memilih dan menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan. Yang dimaksud disini ialah peserta didik membantu dalam hal memilih bahan atau materi yang telah dipelajari dan layak untuk dijadikan tes atau evaluasi.
F. Implikasi Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pendidikan
         Adanya filsafat pendidikan rekonstruksionisme diharapkan pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, pendidikan adalah alat utama untuk menentukan masa depan bangsa, maka dari itu masalah pendidikan dipandang sangat penting, aliran ini berharap pendidikan dapat mengubah tatanan sosial masyarakat, pendidikan dapat mengubah perekonomian masyarakat, pendidikan dapat mengubah segala bentuk apapun yang ada dalam masyarakat. Maka dari itu pendidikan diharap mampu untuk menjadi agen perubahan sosial, walaupun pada kenyataanya sekarang pendidikan belum nampak memberikan kontribusi yang luas dalam masyarakat, justru malah orang-orang dari pendidikan yang merusak negara ini, seperti halnya korupsi yang makin populer di negara ini, bukankah mereka yang korupsi adalah kaum terdidik? Mustahil orang yang korupsi itu lulusan SD. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan pada saat ini belum mampu mengubah tatanan sosial, justru malah merusak tatanan sosial. Pendidikan di Indonesia belum berhasil, dalam artian belum berhasil dalam menanamkan karakter dan kepribadian manusia yang berakhlak baik. Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan asal jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Maksud yang terkandung adalah bahwa dalam proses pembelajaran di kelas, seorang pendidik harus mampu menggunakan metode yang bisa membuat peserta didik atau merangsang peserta didik untuk berfikir dan berani mengeluarkan pendapat sehingga pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru tetapi murid atau peserta didiklah yang harus menjadi objek dari pembelajaran, contoh media atau metode yang digunakan adalah metode diskusi, dengan metode diskusi maka peserta didik dapat berlatih untuk mengemukakan pendapatnya, dengan begitu maka pembelajaran akan efektif dan peserta didik dapat aktif dalam belajar, sehingga tidak hanya guru yang menjadi sumber ilmu, namun peserta didik pun mampu menyumbang pemikiran, dalam berdiskusi sebaiknya masalah yang diangkat adalah isu-isu aktual yang sedang hangat di masyarakat sehingga secara tidak langsung peserta didik akan merespon permasalahan yang telah tumbuh dalam masyarakat, dengan begitu tidak lagi dikatakan bahwa pendidikan telah menjauhkan dari masyarakat, justru pendidikan mendekatkan peserta didik dengan masyarakat dan memberikan sumbangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang ada. Dengan begitu pendidikan akan benar-benar berguna bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya di dalam proses pembelajaran masih ada pendidik melakukan metode tanpa variasi yaitu metode ceramah secara terus menerus tanpa memperdulikan peserta didik, peserta didik di suruh mendengarkan ceramah dari guru tanpa diminta kontribusinya atau tanpa diminta menanggapi, sedangkan permasalahan yang dibahas adalah permasalahan yang basi yang sudah tidak layak dibahas lagi, dengan begitu peserta didik serasa tidak mendapatkan hasil apa-apa dan pendidikan hanya sebagai simbol belaka tanpa guna, pendidikan justru mencetak generasi-generasi yang takut berbicara atau generasi pasif. Jika pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial. Seperti telah dibahas di atas bahwa pendidikan harus mampu memberi kontribusi kepada masyarakat dengan cara merespon permasalahan yang sedang timbul di masyarakat, baik itu masalah ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu mengajak peserta didiknya berfikir dan peka terhadap permasalahan yang sekarang masyarakat hadapi, sebaliknya pendidik yang tidak rekonstruksionis adalah pendidik yang takut atau tidak berani mengajak peserta didiknya dalam menghadapi permasalahan yang sedang hangat dibicarakan, dengan begitu peserta didik akan semakin dekat dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat.











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
          Latar belakang munculnya filsafat pendidikan rekonstuksionisme adalah karena di dunia telah mengalami krisis yang hebat, yaitu adanya totalitarianisme dan lain sebagainya, hal itu menyebabkan Count seorang pencetus filsafat ini menganggap bahwa pendidikan adalah suatu bidang yang layak untuk menyelamatkan dunia. Esensi pendidikan dalam filsafat pendidikan rekonstruksionisme adalah bahwa pendidikan yang dimaksudkan dalam filsafat pendidikan rekonstruksionisme adalah seperti apa yang dikemukakan Brameld, yaitu pendidikan yang harus dilaksanakan sesegera mungkin, subjek pendidikan dikondisikan dengan budaya, guru harus memiliki sikap percaya diri, dan lain sebagaimya. Implikasi filsafat rekonstruksionisme dalam pendidikan adalah bahwa filsafat pendidikan rekonstruksionisme yang menginginkan pendidikan dapat menjadi agen perubahan tatanan sosial, pendidikan mampu menawarkan solusi dalam permasalahan yang ada dalam masyarakat dan pendidikan yang aktif mengajarkan aperubahan sosial ternyata belum sepenuhnya terlaksana.



















DAFTAR PUSTAKA

 H.W, Teguh Wangsa Gandhi. 2011. Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: ARRUS MEDIA Http://maragustamsiregar.wordpress.com M.Ed, Drs. Abdullah Idi, Prof. Dr. H. Jalaluddin. 2002. Filsafat Pendidikan. Jakarta : GAYA MEDIA PRATAMA M. Ed, Drs. H.M Djumberanjah Indar. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: KARYA ABDITAMA R. Knight, George, Dr. Mahmud Arif, M.Ag. (Terj). 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Gama Media Sadullah, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CU ALFABETA

APAKAH ITU FILSAFAT ILMU?


1.      Filsafat
Filsafat secara etimologi menurut tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 18) menjelaskan bahwa istilah “Filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani  Philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan.
Menurut Plato (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 5) bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sementara Poedjawijatna (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 6 ) mengartikan filsafat sebagai ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebenaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada, sebab, asal, dan hukumanya.

2.      Ilmu
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersistematis dan menggunakan metode tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan  bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu dan pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb). Ilmu dan pengetahuan berbeda, semua ilmu adalah pengetahuan dan tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 23-24) menjelaskan bahwa ada empat jenis pengetahuan yaitu
a.       Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b.      Pengetahuan ilmiah atau ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja, tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan  luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c.       Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas  sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar dan di atas pengalaman biasa.
d.      Pengetahuan Agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.

3.      Filsafat Ilmu
Dari penjelasan di atas tentang filsafat dan ilmu maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat Ilmu ingin mencari sedalam-dalamnya tentang hakikat pengetahuan ilmiah (ilmu). Jadi, Penulis perlu menegaskan bahwa yang dicari adalah hakikat pengetahuan ilmiah bukan pengetahuan biasa, filsafat maupun agama yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam memahami hakikat sebuah ilmu maka ada tiga landasannya, yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

a.       Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu, on/ontos yang berarti ada dan logos berarti ilmu. Jadi, ontology adalah ilmu tentang yang ada. Dalam kamus istilah filsafat yang ditulis oleh Surahman (2012: 247) menguraikan bahwa ontology berasal dari bahasa ontos yang berarti pertisipium kata kerja einai, yaitu sedang berada. Menurut singgih iswara, Pandangan ontologis dalam filsafat berkaitan dengan objek yang dikaji. Objek filsafat adalah sesuatu yang diketahui, artinya yang pertama berperan adalah sistem indra kita yaitu mata karena sifat objek yang dibahas dalam landasan ontologis adalah nyata (realitas) dan kenampakan (appearance).
SuriaSumantri (2003: 91) menjelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Maka dapat dikatakan dalam ilmu tidak mengkaji sebelum hidup kita maupun setelah kematian kita, akan tetapi mengkaji di tengah-tengah antara keduanya distulah letak kajian ilmu. Objek materinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan  zat kebendaan. Jadi, dapat dikatakan landasan ontologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang objek kajian ilmu.

b.      Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)
Epistemologi berasal dari bahasa yunani ”episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, “logos” berarti teori. Jadi, epistemologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 17) mengemukakan bahwa persoalan-persoalan yang penting dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Epistemologi dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai metode ilmiah. Mundiri (2012: 203) menjelaskan bahwa Metode ilmiah adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara ilmiah . Dan untuk menemukan atau mendapatkan pengetahuan menurut Mundiri (2012: 204-206) ada beberapa langkah sebagai berikut:
1)      Penemuan atau penentuan masalah. Pada tahap ini, kita secara sadar mengetahui masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya.
2)      Perumusan  masalah merupakan usaha untuk mendeskripksikan masalah yang dihadapi dengan lebih jelas. Pada tahap ini, kita mengidentifikasi semua faktor-faktor yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
3)      Pengajuan hipotesis. Pada tahap ini, kita berusaha untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab akibat dari faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah yang sedang kita hadapi.
4)      Deduksi dari hipotesis. Tahap ini merupakan langkah perantara untuk pengujian hipotesis yang kita ajukan. Deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam hubungannya dengan hipotesis yang diajukan.
5)      Pembuktian hipotesis. Pada tahap ini, kita mengumpulkan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis yang telah kita ajukan. Kalau fakta-fakta itu memang ada maka hipotesis yang diajukan itu benar
6)      Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Hipotesis yang telah terbukti kebenarannya diterima sebagai pengetahuan baru dan dianggap sebagai bagian dari ilmu.
Jadi dapat dijelaskan bahwa landasan epistemologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmiah.
c.       Aksiologi (nilai kegunaan ilmu)
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi berarti teori tentang nilai. Dalam aksiologi inilah yang mengkaji tentang apakah manfaat ilmu itu baik atau buruk (etika), indah atau jelek (estetika) dalam suatu masyarakat. Aksiologi membahas bahwa ilmu itu tidak bebas nilai tapi diikat oleh aturan-aturan nilai yang ada. Segala sesuatu yang diciptakan mampu membantu kebutuhan manusia tidak sebaliknya membawa celaka bagi manusia. Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan serta memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Bencana dan malapetaka akan terjadi jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai. Tanggung jawab seorang ilmuwan harus dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral untuk  kepentingan masyarakat tanpa membawa kepentingan pribadi.  
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi, epistemologi dan landasan aksiologi seperti mata rantai yang saling berhubungan. Ontology berbicara tentang “apa”, epistemologi berbicara tentang “bagaimana” dan aksiologi berbicara tentang “untuk apa”.

d.      Etika
Etika merupakan cabang dari Aksiologi. Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata Ethos yang berarti watak. Sedang moral berasal dari kata latin mos, bentuk tunggal dan mores yang berarti kebiasaan. Dalam KBBI dijelaskan bahwa etika memiliki tiga arti, yaitu: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau  nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Objek materialnya adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedangkan objek formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral. Tiga macam pendekatan etika (Mustansyir dan Misnal Munir, 2013: 30) yaitu etika deskriptif (melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas), etika normative (mendasarkan pendiriannya atas norma), metaetika (kajian etika yang ditujukan kepada ungkapan-ungkapan etis).
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan  ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 182) menjelaskan bahwa di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika pancasila atau moral pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Sesungguhnya ini merupakan moral khusus namun amat penting agar pembangunan tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni.

e.       Positivisme
Aliran positivisme dalam filsafat ilmu  merupakan  paradigma ilmu pengetahuan yang paling pertama muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana  realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 tokohnya adalah Auguste comte yang dikenal juga sebagai bapak sosiologi.
Atang abdul hakim (dalam Soegiono dan Tamsil Muis, 2012: 13)  menjelaskan bahwa aliran positivisme mirip dengan aliran empirisme, hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman  indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah. Hal senada juga disampaikan oleh tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 40) yang menjelaskan bahwa positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran positivism menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi.

f.       Postpositivisme
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembanglah sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah Postpositivisme.Munculnya gugatan terhadap positivisme dimulai tahun 1970-1980an. Pemikiranya dinamai “post positivisme”. Tokohnya Karl R Popper, Thomas Khun, para filusuf mazhab Frankfurt (Feyerabend Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam karena tindakan manusia tidak dapat diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme ini lahir untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi melalui berbagai macam metode. Creswell (2014: 9) menjelaskan bahwa pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivisme selalu didasarkan  pada observasi dan  pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia “luar sana.” Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang mengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia.
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell, John W. 2014. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2013. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soegiono, dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Surahman, Arif. 2012. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Matahari.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.


MODEL PEMBELAJARAN KEAKSARAAN MENGGUNAKAN MEDIA LAGU AKSARA




A.Ismail Lukman, S. P

Pendahuluan

Dalam konteks pemberantasan buta aksara diperlukan metode khusus dalam pembelajaran keaksaraan. Media dipandang sebagai alat atau sarana pembelajaran yang memainkan peran dalam menyampaikan materi-materi keaksaraan. Inovasi media pembelajaran menjadi kunci keberhasilan program keaksaraan, salah satunya dengan pemanfaatan media lagu aksara sebagai bentuk pengembangan media audio visual.

Keaksaraan menjadi permasalahan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Buta aksara merupakan salah salah satu bentuk ketertinggalan yang menjadi persoalan, dimana masyarakat yang mengalaminya tidak memiliki daya guna sama sekali. Semua masyarakat  ingin  menempati  posisi  teratas  dan  menjadi  nomor  satu  di  tempat  dia berada. Namun, masyarakat yang mengalami buta aksara sangat jauh dari impian tersebut, tempat terbawah dan menjadi pekerja kasar merupakan tempat yang mau tidak mau akan menjadi tempatnya.

Pendidikan keaksaraan merupakan salah satu jenis pendidikan yang dilakukan sebagai suatu proses yang menuntut warga belajarnya untuk mampu menguasai rana pendidikan yaitu membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Jenis pendidikan ini termasuk dalam bagian  jenis  pendidikan  nonformal,  sebab  diselenggarakan  di  luar  lingkungan  dan aturan yang memang ditentukan pendidikan formal.



Ada permasalahan yang terjadi pada masyarakat yang kemudian disebut sebagai warga belajar yaitu (1) Ketidakmampuan secara ekonomi menjadi sebab warga belajar tidak mengenyam pendidikan formal, sehingga warga belajar mengalami buta aksara, (2) Pembelajaran keaksaraan selama ini bersifat kaku dan kurang dapat mentransfer materi- materi pengajaran, sehingga berdampak pada kurangnya kemampuan warga belajar dalam membaca berkenaan dengan pengenalan atau penyebutan huruf, (3) Media pembelajaran audio visual berbentuk lagu aksara” dianggap perlu diterapkan dalam pembelajaran keaksaraan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan warga belajar dalam calistung.

Media Audio Visual dalam hal ini lagu aksara dirasakan dapat menambah efektivitas komunikasi dan interaksi antara tutor dan warga belajar. Penggunaan media lagu harus sejalan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Media pembelajaran audio- visual adalah media yang membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran.

Lagu merupakan sebuah teks yang dinyanyikan. Lagu berasal dari sebuah karya tertulis yang  diperdengarkan  dengan  iringan  musik.  Mendengarkalagu  memberikan  efek sedih, senang, bersemangat, dan perasaan emosi lain. Selain itu, lagu mampu menyediakan sarana ucapan yang secara tidak sadar disimpan dalam memori di otak. Keadaan  ini  yang  justru  menjadikan  proses  pembelajaran  menjadi  tidak  kaku, dan terkesan dikondisikan, yang kadang dalam beberapa hal tidak disenangi oleh siswa. Melihat keuntungan tersebut, lagu memberikan keuntungan tersendiri bagi pengajaran pengucapan, sehingga hasilnya dianggap lebih efektif.



Acuan Teori

Pendidikan keaksaaran sangat berperan penting dalam perkembangan pendidikan karena berfungsi untuk meningkatkan mutu masyarakat terutama yang berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. Pendidikan keaksaraan adalah suatu bentuk layanan pendidikan nonformal  bagi  masyarakat  yang belum  dan  ingin  memiliki  kemampuan  membaca, menulis, dan berhitung (calistung), yang bersifat fungsional bagi kehidupannya, ditambahkan pula oleh Amri (2010: 85) yang menyatakan bahwa:
Pendekatan yang harus digunakan dalam penyelenggaraan keaksaraan meliputi: (1) mengembangkan kemampuan calistung dengan menekankan pada kemampuan menulis, membaca, dan berhitung, (2) menekankan keterlibatan warga belajar secara aktif dan kreatif, (3) membangun pengetahuan, pengalaman dengan memperhatikan tradisi lisan warga belajar (bahasa ibu) dan keaksaraan lain, (4) dalam mengajar mengutamakan bahan belajar yang digali dari lingkungan hidup warga belajar yang memiliki karakteristik beragam, (5) proses pembelajaran harus didesain agar responsive dan relevan dengan konteks sosial- kultural warga belajar.

Dalam konteks pengembangan kemampuan calistung dalam pembelajaran keaksaraan, maka diperlukan pengetahuan dasar mengenai menulis dan membaca. Perihal tersebut, pengenalan awal dapat dilakukan dengan menjelaskan mengenai huruf dan tanda atau simbol-simbol aksara. Seperti yang dikemukakan oleh Alwi (2007: 413) yang menjelaskan bahwa huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa. Lebih lanjut, menurut waridah (2009: 4) menyebutkan bahwa pemakaian huruf dibedakan menjadi 4 macam jenis huruf, yaitu (1) Huruf vokal (a,i,u,e,o), (2) Huruf Konsonan, (3) Huruf diftong (ai,au,oi), dan (4) Gabungan huruf konsonan (kh,ng, ny,sy).

Pembelajaran keaksaraan yang di dalamnya terdapat materi-materi calistung harus dipahami mengenai cara penyampaiannya kepada masyarakat yang masih buta aksara atau  dalam  hal  ini  disebut  warga  belajar.  Penyampaian  materi-materi  calistung



dilakukan mulai dari materi paling dasar, yaitu pengenalan abjad (alfabet). Sarana untuk menyampaikan materi tersebut dilakukan melalui media yang disebut media pembelajaran.

Arsyad (2011) menjelaskan bahwa media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Ditambah pula oleh Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 1971) yang mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat warga belajar mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.

Dalam  pengertian  ini,  tutor,  buku  teks,  dan  lingkungan  sekolah  merupakan  media. Secara lebih khusus, media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat   grafis,  photografis,  atau  elektronis  untuk  menangkap,  memproses,  dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media dalam proses belajar mengajar juga harus disesuaikan dengan tujuan instruksional dan sasaran pengguna media. Selain itu, penerapan media dalam proses belajar mengajar harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu dan minat, membangkitkan motivasi dan rangsangan dalam proses belajar mengajar, serta dapat mempengaruhi psikologi warga belajar. Salah satu media yang memiliki muatan tersebut yaitu media lagu.

Suhart (dala Wardah 2005:37 mengungkapka bahwa   lagu   adala sarana informasi dan  edukasi  bagi  negara dan  bagi  masyarakatSebagai  sarana  informasi, lagu sebagai sarana penyampaian  ungkapan  hati  atau  ungkapan  perasaan  seorang penyair     kepada     pendengar.  Lebih  lanjut,  Gustiani  (2006:  32)  mengemukakan



kelebiha dar media   lag adala pertama   bisa   diputa berulang-ulan sesuai kebutuha siswa kedu lagu   dapa dihapu da digunaka kembali ketiga mampu mengembangkan  imajinasi siswa,  keempat sangat efektif untuk pembelajaran bahasa,  kelima  penggandaanprogramnya  sangat  mudasehingga  bisa  diberikan kepada setiap anak didik.

Dalam pengaplikasiannya, media lagu yang berbentuk audio dikolaborasikan dengan media visual, dimana tampilan teks yang berisi materi pengenalan huruf (aksara) dapat ditayangkan melalui layar proyektor.



Model Konseptual

Berdasarkan acuan teori dan permasalahan yang ditemui di lapangan maka dapat diajukan model konseptual terkait keaksaraan yang berupa model pembelajaran keaksaraan menggunakan medialagu aksara.

Model pembelajaran keaksaraan ini ditujukan bagi masyarakat (warga belajar) sebagai sasaran dengan rentang usia di atas 15 tahun yang masih berkeaksaraan rendah. Hal ini didasarkan pada persoalan yang masih membelit terkait rendahnya keberaksaraan yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat. Program keaksaraan yang sudah berlangsung dirasa  masih  belum  mumpuni  (ampuh)  untuk  mengentaskan  masyarakat  dari  buta aksara. Pembelajaran keaksaraan yang terkesan kaku dirasakan menjadi sebab utama rendahnya kualitas pembelajaran. Hadirnya media lagu aksarasebagai wujud pengembangan dari media pembelajaran audio-visual berkontribusi besar dalam proses pembelajaran.



Model pembelajaran keaksaraan menggunakan media lagu aksara” terdiri dari 3 tahapan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, dan (3) evaluasi. Tahap perencanaan lebih kepada persiapan, seperti halnya pada pembelajaran umumnya, tahap persiapan merupakan tahap awal untuk mempersiapkan beberapa elemen. Elemen tersebut antara lain; tujuan, materi, alat, sasaran dan evaluasi. Tahap kedua, tahap pelaksanaan merupakan tindak lanjut dari tahap perencanaan yang terdiri atas materi dan metode. Materi pada tahap pelaksanaan merupakan pengembangan materi pada tahap perencanaan yang sudah mengalami transformasi menjadi bentuk visual yang siap ditayangkan melalui layar proyektor. Materi tersebut berbentuk lirik lagu aksara yang memuat huruf-huruf (alfabet).

Tahap lanjut dari pelaksanaan mengarah pada isi model yang memiliki 5 alur secara berurutan. Pertama, pengantar (introduction) merupakan bagian awal sebagai bentuk pengenalan dan pembuka pembelajaran keaksaraan menggunakan media lagu aksara. Warga belajar akan diberikan arahan  selama 10 menit untuk memahami  dan dapat melaksanakan pembelajaran keaksaraan sesuai alur pembelajaran dengan media lagu aksara. Kedua, penayangan (performance) lagu aksara” menggunakan alat yang meliputi proyektor dan gitar selama 15 menit. Penayangan lagu aksara” dilakukan oleh instruktur atau tutor sebagai operator dalam menyampaikan materi keaksaraan dalam bentuk   nyanyian.   Proyektor   berfungsi   sebagai   alat   untuk   menayangka materi keaksaraan  yang berbentuk lirik lagu dagitar berfungsi  sebagai alat  musik untuk mengiringi lagu. Ketiga, latihan (practice), warga belajar akan mendapat panduan dari instruktur atau tutor untuk mempraktikkan materi keaksaraan yang sudah ditayangkan dengan alokasi waktu 25 menit. Keempat, uji kemampuan (test performance), warga belajar setelah melampaui tahap 1-3 kemudian akan diuji melalui tes yang berbentuk uji



kemampuan  secara  berturut-turut  mulai  dari  membaca  dan  menulis  dengan  alokasi waktu 20 menit. Kelima, tinjauan (review) merupakan bentuk evaluasi formatif untuk melihat kembali tingkat kemampuan warga belajar setelah menggunakan media lagu aksara dalam pembelajaran keaksaraan dengan alokasi waktu 10 menit.

Tahap terakhir, evaluasi terdiri atas evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan di setiap usai pembelajaran keaksaraan menggunakan media lagu aksara, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan sebagai bentuk evaluasi secara keseluruhan. Evaluasi sumatif berfungsi untuk mengetahui tingkat ketercapaian pembelajaran keaksaraa menggunaka media   lag aksara Ketercapaian   tersebut   berupa
peningkatan kemampuan calistung warga belajar.





Lampiran. Lagu Aksara



AKSARA

MARI KITA SEBUT HURUF A                                                                                                              G, EM, AM, D MARI KITA SEBUT HURUF B
MARI KITA SEBUT HURUF C

MARI KITA SEBUT HURUF D

MARI KITA SEBUT HURUF E MARI KITA SEBUT HURUF F MARI KITA SEBUT HURUF G MARI KITA SEBUT HURUF H
REFF: AYO BELAJAR, AGAR KITA PINTAR MEMBACA MARI KITA SEBUT HURUF I
MARI KITA SEBUT HURUF J

MARI KITA SEBUT HURUF K MARI KITA SEBUT HURUF L
MARI KITA SEBUT HURUF M

MARI KITA SEBUT HURUF N MARI KITA SEBUT HURUF O MARI KITA SEBUT HURUF P
BACK TO REFF:

MARI KITA SEBUT HURUF Q MARI KITA SEBUT HURUF R MARI KITA SEBUT HURUF S MARI KITA SEBUT HURUF T
MARI KITA SEBUT HURUF U MARI KITA SEBUT HURUF V MARI KITA SEBUT HURUF W MARI KITA SEBUT HURUF X
DUA HURUF LAGI YAKNI HURUF Y,Y, YEYE DAN Z NANANNANNANANANANANANANANANA



DAFTAR PUSTAKA



Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta: Balai Pustaka.

------. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Amri,  M.  Ali  Latif,  dkk.  2010.  Pendidikan  Keaksaraan:  Kawasan  pesisir  dan kepulauan. Makassar: Pena Press.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gustiani.       2006.       Hakikat       Lagu.       (http://blog       media       pembelajaran guru.blogspot.com/2012/06/penggunaan-media-lagu),  diunduh   pada   tanggal   4
0ktober 2014.

Kridalaksana,  Harimurti.  2008.  Kamus  Linguistik.  Jakarta:  PT  Gramedia  Pustaka

Utama.

Sadiman,  Arief.  Dkk.  2008.Media  Pendidikan:  Pengertian,  Pengembangan,  dan

Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wardah.       2005.       Hakikat       Lagu.       (http://blog       media       pembelajaran guru.blogspot.com/2012/06/penggunaan-media-lagu),  diunduh  pada  tanggal  14
0ktober 2012.

Waridah,  Ernawati.  2009:  EYD  &  Seputar  Kebahasa-Indonesiaan.  Jakarta:  Kawan


Pustaka.